Oleh: trieelangsutajaya2008 | November 8, 2008

Internalisasi Paradigma 4 Pilar Pendidikan

oleh: Trimo, S.Pd.,M.Pd. (IKIP PGRI Semarang)

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Membicarakan system pendidikan di Indonesia ibarat orang berjalan tanpa ujung tidak ada titik temu. Pejabat lebih senang membuat dan memilih kebijakan baru yang lebih spektakuler agar orang menjadi lupa dan terkonsentrasi terhadap kebijakan barunya. Lupa akan harapan dan tujuan sebuah program yang dirumuskan tentang sistem pendidikan di Indonesia.

Hal tersebut merupakan sebuah realita dunia pendidikan. Masih segar dalam ingatan kita tentang pola pengajaran di Indonesia, dari CBSA, PAKEM, Portofolio, MBS, Broad Based Education dan yang terbaru adalah KBK. Penerapan tersebut tentunya menimbulkan permasalahan baru dalam proses belajar-mengajar.

Proses belajar-mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu (Usman, 2000:4). Sedangkan menurut Suryosubroto, proses belajar-mengajar meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran (Suryosubroto 1997:19).

Mengacu dari kedua pendapat tersebut, maka proses belajar-mengajar yang aktif ditandai adanya serangkaian kegiatan terencana yang melibatkan siswa secara komprehensif, baik fisik, mental, intelektual dan emosionalnya.

Dalam konteks pemahaman tentang proses belajar-mengajar, guru dihadapkan pada sesuatu yang secara conditio sine qua non harus diaktualisasikan dalam bentuk pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan. Fenomena yang berkembang di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar guru terbiasa mendesain pembelajaran yang “memenangkan” guru. Artinya, guru lebih senang dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar bagi siswa (teacher centered).

Pembelajaran didasarkan target kurikulum, juga merupakan refleksi dari saratnya beban dan materi pelajaran sehingga guru cenderung mengejar penyelesaian materi daripada mengoptimalkan substansi dari kristalisasi nilai-nilai yang seyogyanya diaktualisasikan. Artinya, guru kurang peduli dengan pentingnya kecakapan hidup (life skill) yang harus dikuasai siswa, dan lebih mementingkan pencapaian hasil belajarnya.

Kondisi tersebut sudah barang tentu rentan akan berbagai dampak negatif yang muaranya pada kualitas pendidikan di mana berada pada ambang batas “kekawatiran”. Problematika yang kompleks dalam dunia pendidikan merupakan tantangan guru, yang harus diupayakan alternatif pemecahannya. Hal ini lantaran stakeholder dalam dunia pendidikan adalah orang tua, guru, masyarakat, institusi, dan para praktisi pendidikan yang diharapkan sumbang sarannya.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagai upaya pencapaian target kurikulum guru cenderung “memaksa” siswa menerima. Pengajaran tanpa mempertimbangkan apakah siswa mampu menguasai serta mengerti dengan apa yang ia pelajari. Kondisi dapat dilihat dari berbagai aktivitas guru, di antaranya: (1) guru memberi les/pelajaran tambahan secara berlebihan dan cenderung menerapkan metode drill, (2) guru hanya menjadi “tukang LKS”, (3) guru memberi pelajaran tidak sistematis, (4) guru memberikan PR dalam jumlah yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa, dan (5) pengajaran tanpa media.

Ada beragam teknik yang dapat digunakan guru untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif, kreatif, konstruktif, ceria, dan menyenangkan serta memberi ruang gerak anak untuk berkreasi, sesuai daya imajinasi masing-masing. Apabila kondisi tersebut dapat didesain guru sudah barang tentu akan bersampak pada meningkatnya kualitas pembelajaran.

Pembelajaran yang berkualitas pada akhirnya bermuara pada penciptaan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Paradigma tersebut kemudian dikenal dengan istilah PAKEM dan mendapatkan rekomendasi dari UNESCO sebagai satu bentuk pembelajaran efektif, dengan mengacu pada empat pilar pendidikan, yakni belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka persoalan mendasar yang hendak dibahas adalah: “Bagaimana internalisasi paradigma empat pilar pendidikan dalam proses belajar-mengajar sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan?

3. Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menelaah secara mendalam internalisasi paradigma empat pilar pendidikan dalam proses belajar-mengajar sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan

4. Manfaat Penulisan Makalah

Penyusunan makalah ini memiliki manfaat secara teoretis dan praktis. Secara teoretis makalah ini bermanfaat untuk menelaah teori-teori pembelajaran efektif yang direfleksikan dalam paradigma empat pilar pendidikan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan.

Secara praktis, makalah ini bermanfaat untuk: (1) guru, sebagai penggerakan motivasi dalam mendesain pembelajaran bermakna, (2) kepala sekolah, sebagai sarana memberkikan pembinaan bagi guru-guru dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran, dan (3) pengawas sekolah, sebagai masukan dalam meningkatkan profesionalisme guru.

B. PEMBAHASAN

1. Interaksi Belajar-Mengajar

Lingrend (dalam Usman, 2000:25), mengatakan bahwa ada empat pola komunikasi dalam proses interaksi guru dengan siswa seperti digambarkan dalam diagram berikut ini:

Diagram 1

Jenis-Jenis Interaksi Dalam belajar-Mengajar

(Lingren, 1976)

G G

S S S S S S

Komunikasi satu arah Komunikasi dua arah, ada

balikan guru, tidak ada interaksi

di antara siswa

G G

S S S S S

S S

Komunikasi dua arah, Komunikasi banyak arah,

Ada balikan bagi guru interaksi optimal antara guru

Siswa berinteraksi dengan siswa, dan antara

siswa dengan siswa lainnya

Mengacu pada diagram di atas, sudah barang tentu proses belajar-mengajar merupakan kegiatan yang integral dengan menggunakan interaksi resipokral dan memanfaatkan konsep komunikasi multi arah. Namun demikian realitas di lapangan, guru masih cenderung mengadakan interaksi searah, yang berdampak pada proses pembelajaran teacher centered.

Mengoptimalkan interaksi multi arah bukanlah hal yang mudah. Namun ada beberapa kiat yang dapat digunakan guru, yakni dengan sistem TANDUR (De Porter, 2002:89), yang meliputi:

TUMBUHKAN

Tumbuhkan minat dengan memuaskan “Apakah Manfaatnya BagiKu” (AMBAK) dan manfaatkan kehidupan pelajar.

ALAMI

Ciptakan atau datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajar.

NAMAI

Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebagai sebuah masukan

DEMONSTRASIKAN

Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan bahwa mereka tahu.

ULANGI

Tunjukkan pelajar cara-cara mengulangmateri dan menegaskan, “Aku tahu bahwa aku memang tahu.”

RAYAKAN

Pengakuan untuk menyelesaikan, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan

2. Pembelajaran Kreatif

Jika ditelaah lebih mendalam, gambaran pengoptimalan interaksi dengan sistem TANDUR yang diadopsi dari Buku Quantum Teaching, agaknya identik dengan potret pembelajaran dengan karakteristik PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan). Secara kontekstual, pembelajaran ala PAKEM berisi serangkaian kegiatan, yang meliputi:

a. Berorientasi pada keaktifan, kreativitas, dan kemandirian siswa.

b. Siswa perlu melakukan pengamatan dan merumuskan dugaan awal.

c. Siswa perlu melakukan percobaan pengujian dan menarik kesimpulan dari percobaannya.

d. Melaporkan hasil temuannya secara langsung (otentik) dengan bimbingan guru yang aktif bertindak sebagai fasilitator dan motivator (Depdiknas, 2001:10).

Realitas di lapangan, agaknya guru kurang tertarik untuk menerapkan pembelajaran ala PAKEM lantaran memilih pembelajaran yang hanya menghafal semata. Potret pembelajaran yang selama ini diterapkan guru cenderung berkutat pada proses pembelajaran yang hanya memusatkan perhatiannya pada kemampuan otak kiri siswa saja. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang ditumbuhkembangkan dan bahkan dapat juga dikatakan tidak pernah dikembangkan secara sistematis.

Kondisi itu menyebabkan pendidikan nasional tidak mampu menghasilkan orang-orang yang mandiri, kreatif, memiliki self awareness, dan orang-orang yang mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik, sosial dalam komunitas kehidupannya. Akibatnya, dilihat dari tingkat pendidikan tinggi, pengangguran sarjana yang secara formal termasuk kelompok “terdidik” semakin meluas (Suyanto, 2000:7).

Sebagai gambaran, berikut ini dibandingkan kemampuan otak kanan dengan kemampuan otak kiri.

Proses di belahan otak kiri

Proses di belahan otak kanan

1. Terjadi pada proses penemuan yang bersifat bagian-bagian dari suatu komponen

2. Proses berpikir analitis

3. Proses berpikir yang mementingkan tata urutan sekuensial dan serial

4. Proses berpikir temporal, terikat pada waktu kini

5. Proses berpikir verbal, matematis, notasi musikal

1. Tertarik pada proses penginte-grasian dari bagian-bagian suatu komponen menjadi satu kesatuan yang bersifat utuh dan menyeluruh

2. Proses berpikir yang bersifat relasional, konstruksinal, dan membangun suatu pola

3. Proses berpikir simultan, dan parallel

4. Proses berpikir lintas ruang, tidak terikat pada waktu kini

5. Proses berpikir yang bersifat visual, lintas ruang, musikal

Sumber: (Linda V. William, 1983)

3. Empat Pilar Pendidikan

Dalam buku Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (2001:13) paradigma pembelajaran tersebut akan menciptakan proses belajar-mengajar yang efektif, yakni: belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).

a. Konsep learning to know menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu berperan sebagai informator, organisator, motivator, diretor, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator bagi siswanya, sehingga peserta didik perlu dimotivasi agar timbul kebutuhan terhadap informasi, keterampilan hidup, dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya. Yusak (2003) mengatakan bahwa secara kreatif menguasai instrumen ilmu dan pemahaman yang terus berkembang, umum atau spesifik, sebagai sarana dan tujuan , dan memungkinkan terjadinya belajar sepanjang hayat.

b. Konsep learning to do menyiratkan bahwa siswa dilatih untuk sadar dan mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Terkait dengan hal tersebut maka proses belajar-mengajar perlu didesain secara aplikatif agar keterlibatan peserta didik, baik fisik, mental dan emosionalnya dapat terakomodasi sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.

c. Konsep learning to live together merupakan tanggapan nyata terhadap arus individualisme serta sektarianisme yang semakin menggejala dewasa ini. Fenomena ini bertalian erat dengan sikap egoisme yang mengarah pada chauvinisme pada peserta didik sehingga melunturkan rasa kebersamaan dan harga-menghargai. Memahami, menghormati dan bekerja dengan orang lain, mengakui ketergantungan, hak dan tanggungjawab timbal balik yang melibatkan partisipasi aktif warga, tujuan bersama menuju kerekatan sosial, perdamaian dan semangat kerjasama demi kebaikan bersama.

d. Konsep learning to be, perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar mampu memiliki rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Pengembangan dan pemenuhan manusia seutuhnya yang terus “berevolusi”, mulai dengan pemahaman diri sendiri, kemudian memahami dan berhubungan dengan orang lain. Menguak kekayaan tak ternilai dalam diri.

C. PENUTUP

1. Simpulan

Berdasar uraian di atas dapat ditarik suatu pemahaman bahwa implementasi paradigma empat pilar pendidikan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan merupakan conditio sine qua non dalam pendidikan. Dalam pengertian paradigma tersebut mutlak diterapkan dalam proses belajar-mengajar.

Penerapan paradigma tersebut sudah barang tentu akan berdampak pada pembelajaran efektif yang direkomendasikan UNESCO yakni pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Konsep pembelajaran efektif tersebut bermuara pada empat pilar pendidikan, yakni (learning to know), (learning to do), (learning to live together), dan (learning to be).

Penerapan empat pilar pendidikan menuntut kemampuan profesional guru sejalan diberlakukannya otonomi daerah, khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan professional guru akan terwujud apabila guru memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam mengelola interaksi belajar-mengajar pada tataran mikro, dan memiliki kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan pada tataran makro.

2. Saran

Mewujudkan kondisi ideal potret pembelajaran yang kreatif, bukanlah hal yang mudah lantaran munculnya beragam fenomena aktual dalam dunia pendidikan sangat dibutuhkan guru yang bersungguh-sungguh mengembangkan kompetensinya, baik kompetensi personal, profesional, dan kemasyarakatan.

Oleh karena itu, guru diharapkan lebih kreatif di dalam mendesain proses pembelajaran, sehingga ada perpaduan yang sinergis antara hasil pembelajaran dengan kecakapan hidup (life skill).

Kerjasama dan koordinasi antara seluruh komponen sekolah dipandang perlu agar masing-masing komponen sekolah dapat memberikan kontribusi secara maksimal, dalam menumbuhkan tunas-tunas muda harapan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2001a. Buku 1 Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdikbud.

________.2001b. Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.

DePorter, Bobbi. 2002. Quantum Teaching. Boston: Allyn Bacon.

Suryosubroto. 1997. Proses Belajar-Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Suyanto. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III. Yogyakarta: Adicita.

Usman, Moh Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

William, LV. 1983. Teaching for The Two Sided. Englewood Cliffs New Jersey: Prentice Hall.

Yusak, Muchlas. 2003. Wawasan Kependidikan, Empat Pilar Pendidikan. Semarang: Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan.


Tanggapan

  1. SUPAYA LULUS

  2. pilar-pilar pendidikan perlu kita wujudkan, karena akan meningkatkan mutu pendidikan.

  3. kita perlu mewujudkan pilar-pilar pendidikan yang meliputi learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. karena dengan begitu akan meningkatkan mutu pendidikan..

  4. kita perlu mewujudkan pilar-pilar pendidikan karena akan meningkatkan mutu pendidikan…

  5. mari kita berjuang untuk meningkatkan kualitas guru!!!!

  6. mari kita berjuang
    tunjukkan aksimu!!!


Tinggalkan Balasan ke ahmad jamal Batalkan balasan

Kategori